Sabtu, 08 Desember 2012

Raja terakhir di Sangalla' (puang sangalla')

Buntu Kalando, Istana Raja Sangalla
TORAJA memang tidak mengenal istilah kerajaan dalam sistem pemerintahan di masa lalu. Pemimpin tradisional mereka dikenal dengan istilah Puang.


, Tana Toraja


Salah satu bukti autentik dari sisa-sisa kejayaan sistem pemerintahan kepuangan itu, kini masih tersimpan dengan baik di museum Buntu Kalando, Lembang Kaero, Kecamatan Sangalla, Tana Toraja.

Puang adalah sebutan lain dari raja, yang artinya orang yang memiliki kekuasaan, kebijaksanaan, berasal dari kalangan rulling class, dan mampu memimpin, serta mengatur keteraturan hidup dalam masyarakat.

Di masanya, Puang Sangalla, yang bernama asli Laso’ Rinding, dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, kuat, cerdas, dan memiliki darah bangsawan Sulawesi Selatan.

Menurut keturunan Puang Sangalla, Puang Edi Sombolinggi, yang saat ini diberi kewenangan mengurus museum Buntu Kalando, antara kerajaan Gowa, Bone, Kedatuan Luwu, dan Kepuangan di Sangalla, memiliki hubungan historis dan kekerabatan yang sangat erat.

Keempat wilayah kerajaan ini berasal dari keturunan yang sama, yakni Lakipadada (Karaeng Bajoe) dan Batari Lolo, yang berasal dari Gowa. Lakipadada memiliki empat anak, masing-masing Patta La Mera (yang kemudian menjadi penerus kerajaan Gowa), Patta La Bunga (penerus kedatuan Luwu), Patta La Bantan (kepuangan Sangalla), dan Patta La Didi (penguasa kerajaan Bone).

Hubungan keempat bersaudara inilah yang dikenal dengan istilah: Sombae ri Gowa, Pajuang ri Luwu, Matasak ri Sangalla, dan Mangkau ri Bone. Keempat bersaudara ini juga dikenal dengan nama tallu pocoe, appa pada-pada, yang artinya tiga saudara laki-laki dan satu saudari perempuan.

''Keempatnya memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain,'' kata Puang Edi.
Sistem pemerintahan adat dari kepuangan Sangalla dimulai sekitar tahun 1925. Saat itu, istana, yang saat ini sudah dijadikan museum itu, masih berbentuk bangunan tembok, beratap bambu, mirip dengan istana Datu Luwu di Luwu.

Pada masa penjajahan Belanda, istana Puang Sangalla ini dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penerangan masyarakat.
Pemimpin di kepuangan Sangalla dipilih oleh masyarakat setempat.
Fungsi Buntu Kalando sebagai pusat pemerintahan mulai berubah saat penjajahan Jepang memasuki wilayah Tana Toraja, sekitar tahun 1942. Saat itu, pemerintah Jepang menghapus atau mengganti semua pemimpin adat eks pemerintahan Belanda, dengan pemimpin yang diinginkan oleh Jepang. Tetapi pusatnya tetap di Buntu Kalando.

Saat Indonesia merdeka tahun 1945, fungsi pemerintahan benar-benar diambil alih oleh pemerintahan Republik Indonesia, yang artinya untuk jabatan seperti bupati atau camat, ditunjuk langsung oleh pemerintah, bukan lagi dipilih oleh masyarakat adat setempat.
Fungsi kepuangan Sangalla hanyalah mengurusi masalah pemerintahan adat.
''Istana ini pernah roboh pada tahun 1960 tetapi dibangun kembali dan diganti dengan bangunan Tongkonan,'' ujar Puang Edi.

Menurut Puang Edi, pada tahun 1969, sebelum Puang Sangalla, Laso’ Rinding, meninggal dunia, dia berpesan agar jasadnya tidak dipindahkan, dia ingin beristirahat di tempat itu.
Keluarga besar Puang Sangalla lalu mengganti istana itu dengan bangunan Tongkonan, yang lebih berciri dan mengakar di Toraja.

Tahun 1970, almarhum Puang Sangalla diupacarakan (Rambu Solo’) di tempat itu, dengan upacara yang sangat besar dan meriah.
Upacara pemakaman Puang Sangalla ini tercatat sebagai yang paling akbar di Tana Toraja.

5 komentar: